Scroll Top

POLITIK UANG, KEABSAHAN SURAT SUARA DAN PENGISIAN FORM C HARUS DIKAWAL KETAT

1poster2

1poster2Kemarin, Rabu Pahing, tanggal 9 Desember 2015 merupakan tonggak sejarah pilkada langsung pertama digelar di se antero Indonesia khususnya untuk pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Tidak ketinggalan, di Provinsi Jawa Tengah sejumlah 15.469.349 pemilih, yang tersebar di 21 kabupaten/kota, 340 kecamatan, 5.213 desa dan 33.838 ( TPS ) tempat pemungutan suara juga akan memberikan suaranya dalam pesta demokrasi tersebut. Kita lihat kilas balik barang sebentar, tanggal 6,7,8 Desember 2015 kemaren yang merupakan hari tenang menurut tahapan sebagaimana peraturan KPU Nomor 2 tahun 2015, di beberapa daerah cukup dinamis dengan segala pernik-pernik pelanggarannya. Data yang dihimpun Bawaslu Jateng, awal tahapan pilkada sampai dengan berakhirnya masa kampanye, terdapat 198 dugaan pelanggaran. Dugaan pelanggaran sebanyak itu ter kategori dalam 4 kelompok, yaitu pelanggaran pidana, pelanggaran administrative, pelanggaran etika dan sengketa pilkada. Secara lebih rinci lagi, dari 198 dugaan pelanggaran tersebut antara lain keterlibatan kepala desa dan perangkat desa 33 kasus, keterlibatan pegawai negeri sipil 16 kasus, penggunaan fasilitas pemerintah 8 kasus, penyelenggara pemilihan tidak netral 6 kasus, kampanye diluar jadwal 7 kasus, kampanye ditempat terlarang 3 kasus, politik uang 10 kasus, sengketa pemilihan 1 kasus, tindak pdana umum 1 kasus,, selebihnya pelangaran administrative sebanyal 110 kasus. Sekedar menjadi data pembanding saja, bahwa pelanggaran saat pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD atau yang dikenal sebagai Pileg 2014, Bawaslu Jateng menginventarisir jumlah pelanggaran, sebannyak 457 kasus. Sedangkan dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden sebanyak 148 kasus.

Penilaian itu didasarkan pada indek kerawanan politik uang yang dikeluarkan oleh Bawaslu Republik Indonesia. Dari data itu, Jawa Tengah memperoleh point 2,5 dari point maksimal 5 angka. Angka 2,5 termasuk dalam posisi rawan dan bisa jadi di Jawa Tengah tingkat politik uangnya tinggi. Dari data Indek Kerawanan Pemilu ( IKP ) yang dibuat oleh Bawaslu Republik Indonesia, potensi politik uang secara berurutan di 21 kabupaten/ kota yang melakukan pilkada adalah Blora 3,0, Boyolali 2,0, Demak 2,5, Grobogan 3,5, Kebumen 2,5, Kendal 3,0, Klaten 3,5, Pekalongan 2,5, Pemalang 2,0, Purbalingga 2,5, Purworejo 2,0, Rembang 4,5, Semarang 2,5, Sragen 4,0, Sukoharjo 2,0, Wonogiri 2,0, Wonosobo 2,0, Kota Magelang 1,5, Kota Pekalongan 2,5, Kota Semarang 2,0 dan Kota Surakarta 1,5. Menurut Bawaslu RI, praktek politik uang bisa dikemas dalam beragam modus. Pada pelaksanaan pilkada, kedekatan figur calon kepala daerah yang berdekatan dengan pemilih langsung membuat kemungkinan politik uang juga semakin massif dalam pilkada. Faktor banyaknya jumlah penduduk miskin suatu daerah menjadi salah satu hal yang dilihat dalam memetakan potensi kerawanan pemilih yang bisa menjadi target politik uang.

teguh-purnomo

Berbagai Serangan

Dimulainya hari tenang yang berlangsung tanggal 6,7 dan 8 Desember 2015 ternyata dicederai dengan temuan pengawas pilkada yang terkait dengan politik uang. Di Boyolali, tepatnya di Kecamatan Musuk, Desa Sukorejo, Pengawas Pemilu Lapangan ( PPL ) menemukan KPPS yang merupakan garda depan KPU membagikan C6 pemberitahuan/undangan pencoblosan di TPS dilampiri amplop yang didalamnya ada uang dan anjuran untuk mencoblos pasangan calon tertentu. Di Kabupaten Wonosobo sudah diamankan uang kurang lebih 6.060.000,- rupiah, baik itu yang tertangkap tangan pengawas, maupun yang berasal dari laporan masyarakat. Di Kabupaten Purbalingga ada pemberian meja tenis meja ( ping pong ), water torn, dan sembako, serta ada seorang oknum PNS yang juga membagikan sembako dengan ajakan memilih pasangan calon tertentu, dan barang tersebut saat ini sudah diamankan pengawas untuk proses lebih lanjut. Selain terjadi di beberapa kabupaten tersebut, dimungkinkan juga politik uang terjadi di daerah lain. Yang jelas, karena pemungutan suara dimulai pagi ini akan di akhiri pukul 13.00 WIB, potensi politik uang bisa muncul dini hari yang dikenal dengan serangan fajar, pagi hari yang dikenal dengan serangan dhuha dan siang hari menjelang penutupan pemungutan suara yang dikenal sebagai serangan dhuhur. Aturan main yang diterapkan pengawas adalah, bagaimana politik uang ini bisa dicegah, oleh karenanya upaya preventifnya dengan mengamankan barang bukti yang ada sampai setidaknya pemungutan dan penghitungan suara di TPS selesai dilaksanakan. Hal ini dilakukan untuk mencegah jangan sampai pilihan masyarakat terpengaruh dan ternodai dengan adanya politik uang tersebut. Namun demikian, jika ternyata memenuhi unsur pidana setelah dibahas di sentra gakkumdu, maka proses pidana akan dilanjutkan sesuai prosedur yang ada.

Pada hari pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara ini, kegiatan yang berlangsung adalah aktifitas masyarakat yang hadir ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Aktifitas KPU dan jajarannya melayani pemilih menggunakan hak pilihnya yang secara teknis harus sesuai ketentuan tata cara pemungutan dan penghitungan suara berdasarkan azas LUBER dan JURDIL. Dilain pihak, pengawas Pemilu khususnya pengawas garda depan dengan sebutan pengawas TPS dalam melakukan pengawasan memastikan bahwa pelaksanaan pemilihan serta aktifitas penghitungan hasil pemungutan suara tersebut berlangsung dengan jaminan adanya integritas proses dan integritas hasilnya. Dan dalam memastikan hal tersebut pengawas Pemilu bertugas menghindarkan dari adanya praktek-praktek pelanggaran, kecurangan dan manipulasi suara yang disebabkan oleh pada 5 aspek dalam pungut hitung yaitu adanya politik uang, keterlibatan aparat, pemanfaatan atau penyalahgunaan logistik pemilihan, akurasi data pemilihan dan penggunaan hak pilih, serta profesionalitas dan netralitas petugas KPPS.

Sumber : Opini Pimpinan Bawaslu Jateng Divisi Pencegahan dan Hubungan antar Lembaga Teguh Purnomo,SH,M.hum,MKn pada harian Suara Merdeka 9 Desember 2015.

Leave a comment

Skip to content