Scroll Top

OPINI: Pemilu Serentak yang Menghentak

WhatsApp Image 2019-04-22 at 15.27.28


Oleh: Moh. Syahirul Alim

(Koordinator Divisi Sengketa Bawaslu Kabupaten Grobogan)

Puncak tahapan pemilu 2019 berupa pemungutan dan penghitungan suara 17 April 2019 telah selesai. Sejarah mencatat, untuk pertama kalinya bangsa Indonesia menggelar pemilu serentak (pemilu legislatif dan pemilihan presiden-wakil presiden).

Jika kita tengok ke belakang, yang mendasari pelaksanaan pemilu serentak 2019 adalah putusan Mahkamah Konstitusi No.14/PUU-XI/2013 yang menyatakan pemilu 2019 harus dilakukan secara bersamaan antara pemilu presiden dan pemilu legislatif.

Secara keseluruhan, pemilu 2019 khususnya di Provinsi Jawa Tengah telah berjalan lancer sesuai tahapan yang sudah dijadwalkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Namun, jika kita melihat lebih jauh lagi ternyata pelaksanaan pemilu secara serentak cukup rumit khususnya bagi pemilih. Pemilih dalam satu kesempatan harus memilih dengan lima surat suara, yaitu: presiden dan wakil presiden, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Pemilih membutuhkan waktu yang cukup lama saat berada dalam bilik suara dengan durasi 3-5 menit. Apalagi jika pemilih tersebut sudah lanjut usia. Hal ini dapat dimaklumi mengingat banyak sekali nama calon legislatif yang ada dalam surat suara sehingga pemilih cukup kesulitan dalam memilih nama yang hendak dipilihnya.

Imbas dari kerumitan pemilu serentak tidak hanya saat pemungutan suara yang dimulai pukul 07.00 s/d 13.00 WIB, namun berlanjut saat penghitungan suara di mana anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang bertugas di Tempat Pemungutan Suara (TPS) harus bekerja ektra keras mengingat lembar surat suara yang harus dihitung begitu banyak.

Tentu membutuhkan kecermatan dan ketelitian agar tidak terjadi salah hitung. Begitu juga dengan Pengawas TPS yang harus tetap focus dalam melakukan tugas pengawasan baik saat berlangsungnya pemungutan suara hingga berlanjut ke tahap penghitungan suara oleh anggota KPPS.

Untuk diketahui, kegiatan hampir semua TPS yang ada di wilayah Provinsi Jawa Tengah dalam penghitungan suara maupun dalam penyelesaian penulisan administrasi, misal penulisan Form C1 Plano, C1, dan pemberian tanda tangan baik oleh Ketua KPPS dan saksi-saksi yang hadir dalam proses pemungutan dan penghitungan suara baru berakhir setelah dini hari. Bahkan ada yang sampai subuh dan pagi hari tanggal 18 April 2019.

Sesuai ketentuan dalam Peraturan KPU hasil tindaklanjut putusan Mahkamah Konstitusi No.20/PUU/XVII/2019 rekapitulasi suara di TPS harus selesai paling lambat pukul 12.00 hari berikutnya dari hari pencoblosan.

Proses rekapapitulasi ini harus berkelanjutan,tidak boleh ada jeda waktu. Proses pemungutan dan penghitungan suara yang berjalan sangat panjang dan melelahkan ini tentu membawa konsekuensi tersendiri bagi penyelenggara pemilu.

Misal petugas KPPS salah tulis angka perolehan hasil suara, salah memasukkan kolom untuk jenis kelamin meskipun langsung dilakukan pembetulan berdasar masukan saksi-saksi peserta pemilu maupun Pengawas TPS.

Imbas dari panjangnya proses pemungutan dan penghitungan suara banyak penyelenggara pemilu baik dari jajaran KPU maupun Bawaslu yang jatuh sakit bahkan meninggal dunia saat menjalankan tugas dan kewajibannya di TPS.

Untuk jajaran Pengawas Pemilu di Jawa Tengah  yang mengalami sakit, kecelakaan dan meninggal dunia selama menjalankan tugas pengawasan dari data yang masuk di Bawaslu Provinsi Jawa Tengah sampai saat ini tercatat rawat inap 63 orang, rawat jalan 74 orang, kecelakaan rawat inap 34 orang, dan meninggal dunia 4 orang.

Di antara pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pemilu serentak 2019 adalah untuk efisiensi biaya. Namun, faktanya dalam pemilu 2019 Kementrian Keuangan menganggarkan sebesar Rp. 25,59 triliun. Angka ini naik 61 % dibanding anggaran untuk pemilu 2014 yang sebesar Rp.15,62 triliun.

Selain itu juga dialokasikan anggaran untuk pengawasan sebesarRp. 4,85 triliun naik dibanding 2014 sebesar Rp. 3,67 triliun. Anggaran keamanan dialokasikan sebesar Rp. 3,29 triliun (anggaran 2014 Rp. 1,7 triliun).

Begitupun anggaran untuk kegiatan pendukung pemilu meningkat dari Rp.1,7 triliun pada pemilu 2014 menjadi Rp. 3,29 triliun pada pemilu 2019 (dikutip dari Detik Finance Rabu, 27 Maret 2019 13.10 WIB).

Kalau kita melihat angka-angka di atas tentu pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi untuk efisien biaya pemilu 2019 tidak tercapai. Pertimbangan lain Mahkamah Konstitusi agar pemilu legislative dengan pemilu Presiden dilakukan bersamaan agar tidak terjadi deal-deal politik tertentu antara Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dengan menciptakan koalisi taktis bersifat sesaat sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang dapat melahirkan penyederhanaan partai politik secara alamiah.

Namun yang terjadi proses pemilu legislatif yang dilakukan bersamaan dengan pemilu Presiden dan Wakil Presiden seakan tenggelam ditelan hiruk pikuk pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Masyarakat seakan lupa memilih anggota legislative sama pentingnya dengan memilih Presiden dan Wakil Presiden karena anggota legislative memiliki 3 (tiga) fungsi yang berperan dalam menentukan ke mana republik ini berjalan, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.

Melihat fenomena pemilu serentak 2019 yang banyak persolan. Seperti keterlambatan surat suara, khususnya dalam tahapan pemungutan dan penghitungan suara. Karena ada kerumitan, proses panjang dan melelahkan, masih layakkah pemilu berikutnya dilakukan secara serentak? Ataukah sebaliknya pelaksanaan pemilu berikutnya perlu ditinjau ulang.

Apabila pemilu berikutnya antara pemilu legislative serta pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilakukan terpisah tentu para wakil rakyat yang duduk di kursi legislative bersama pemerintah harus merevisi Undang-UndangNomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemilu 2019.

Leave a comment

Skip to content