Oleh: Rofiuddin
Anggota Bawaslu Jawa Tengah; Anggota Gugus Tugas Pengawasan Siaran Pemilu 2019
Mahkamah Konstitusi telah selesai menggelar sidang putusan mengenai perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) legislatif 2019. Setelah menggelar sidang sejak awal Juli lalu, MK mengeluarkan putusan PHPU untuk pemilu DPR, DPRD dan DPD. Putusan akan dibacakan pada 6-9 Agustus 2019. Di Jateng, 10 permohonan yang diajukan berbagai partai politik, ditolak seluruhnya.
Sebelumnya, MK sudah menggelar berbagai agenda sidang. Mulai dari meregister permohonan, menggelar sidang pendahuluan untuk penyampaian pokok-pokok permohonan pemohon, sidang jawaban termohon dan keterangan dari Bawaslu, sidang pemeriksaan saksi dan alat bukti. MK juga menggelar Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Setelah itu ada sidang pengucapan putusan.
Harus diakui, proses sidang PHPU Pileg tidaklah seramai jika dibandingkan dengan PHPU Pilpres. Tidak banyak media yang gencar memberitakan proses persidangan PHPU Pileg. Hal ini berbeda dengan PHPU Pilpres. Pada saat PHPU Pilpres beberapa waktu lalu, pemberitaan media massa cukup gencar. Berbagai agenda diliput banyak media. Bahkan, beberapa stasiun televisi menyiarkan secara langsung proses persidangan PHPU Pilpres.
Tidak hanya pada saat pembacaan permohonan dan pembacaan putusan, tapi hampir semua agenda persidangan disiarkan secara langsung oleh beberapa stasiun televisi. Media cetak, online dan radio juga banyak sekali mengulas dan menganalisa proses PHPU Pilpres. Sidang PHPU Pilpres yang sidangnya bisa berjam-jam tetap diulas media. Publik dengan gamblang bisa mengikuti proses PHPU Pilpres tersebut.
Namun, untuk PHPU Pileg dan DPD, pemberitaannya terbilang minim. Beberapa media memang menyiarkan dan memberitakan proses PHPU tapi itu hanya sekilas saja. Tak banyak media yang tertarik menyiarkan PHPU Pileg. Kalau pun toh ada, pemberitaannya hanya sekilas saja.
Misalnya, media memberitakan PHPU Pileg dari sisi adanya calon DPD yang mengajukan permohonan ke MK dengan alasan lawan politiknya menggunakan foto editan yang terlihat terlalu cantik dibandingkan dengan wajah aslinya. Beberapa media juga mengabarkan beberapa peristiwa proses PHPU Pileg secara sekelumit saja. Hanya beberapa peristiwa yang dianggap menarik dan penting. Tidak sampai pada level pemberitaan ada siarang langsung secara masif.
Kenapa bisa seperti itu? Barangkali ada berbagai faktor yang melatarbelakangi. Misalnya, selama ini proses perebutan kekuasaan presiden dan wakil presiden lebih memiliki perhatian sangat besar. Sebab, posisi presiden sebagai pucuk pimpinan sebuah negara sangat strategis. Belum lagi dalam prosesnya ada pemilu presiden ada bumbu-bumbu perebutan kekuasaan yang melibatkan dua orang yang sebelumnya sudah berkompetisi: Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Dua orang ini sudah berkompetisi pada pemilu 2014 dan diulang lagi di pemilu 2019. Keduanya memiliki pengikut yang tidak sedikit. Kompetisi keduanya juga sangat menarik diikuti oleh publik. Banyak peristiwa dan kejadian yang sering ditunggu-tunggu khalayak. Media massa sebagai lembaga yang memberikan informasi tentu tak akan melewatkan berbagai momentum pemilu presiden. Sebab, ya itu tadi, informasi mengenai kompetisi di pencapresan ditunggu banyak orang. Selain itu, PHPU pilpres hanya ada satu permohonan yang lingkupnya nasional. Lingkup nasional inilah yang menjadi proses pilpres lebih memiliki nilai kelayakan berita. Kita tahu, salah satu unsur nilai berita yang digunakan media massa adalah soal besaran peristiwa.
Hal ini berbeda dengan PHPU Pileg dan DPD. Proses pileg lebih bersifat lokalitas. Perebutan kekuasaan calon wakil rakyat hanya bersifat di masing-masing daerah pemilihan. Belum lagi untuk DPRD tingkat kabupaten/kota yang level dapilnya adalah satu kecamatan atau antar kecamatan. Sifat lokalitas Pileg itulah yang membuat PHPU Pileg sangat minim pemberitaan media massa.
Padahal, proses PHPU Pileg juga sangat penting. Dalam proses PHPU Pileg, MK menguji apakah ada peristiwa-peristiwa kecurangan atau persitiwa tertentu yang mencederai suara rakyat. Ada tidaknya kasus kecurangan harus dibedah MK sesuai dengan permohonan yang diajukan pemohon.
Dalam PHPU Pileg juga melibatkan banyak pihak peserta pemilu. Pada saat proses perdaftaran, MK menerima sebanyak 339 permohonan. Dari jumlah itu, yang masuk register sebanyak 260 permohonan. Setelah diproses, hanya 122 perkara yang diperiksa lebih lanjut dalam sidang pembuktian. Begitu banyaknya orang yang terlibat dalam proses PHPU Pileg. Namun, lingkup persoalan hanya bersifat lokal sesuai dengan karakter pelaksanaan pileg yang menganut sistem daerah pemilihan. Sengketa perselisihan hasil yang diajukan pemohon lingkupnya juga sesuai dengan dapil masing-masing. Kita berharap agar media juga gencar dalam pemberitaan proses PHPU Pileg agar publik juga memberikan perhatian pada proses ini. Proses PHPU Pileg sangatlah penting karena dibahas berbagai dugaan pelanggaran yang menciderai proses demokrasi.
Sebenarnya MK sudah mengantisipasi agar publik bisa mengikuti proses PHPU Pileg. MK menyiarkan secara langsung proses persidangan melalui media sosial terutama akun Youtube Mahkamah Konstitusi RI. Namun, upaya itu bisa tidak maksimal. Sebab, tidak semua orang bisa dengan mudah membuka Youtube.
Perbedaan “perhatian media” kepada proses pilpres dan Pileg seperti terutai di atas juga terjadi di tahapan-tahapan lainnya. Misalnya dalam tahapan kampanye. Media massa cukup berlebih dalam porsi pemberitaan untuk pilpres. Sedangkan porsi pemberitaan pileg terbilang minim. Dampaknya, publik hanya disodori hal ihwal pertarungan antar capres/cawapres beserta dengan tim sukses dan pendukungnya. Kampanye pilpres juga lebih gencar diberitakan media massa dibandingkan dengan pileg. Karena itulah, pemilu serentak dengan lima kotak suara (capres/cawapres, DPD, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota) seolah-olah yang terasa hanyalah pemilu presiden/wakil presiden. Sedangkan pemilu DPR, apalagi DPD, jarang mendapatkan porsi pemberitaan.
Ke depan, media mestinya tidak hanya tertarik menyampaikan informasi yang terkait lingkup nasional saja. Media harus mewakafkan diri sebagai penyampai informasi kepada publik sesuai dengan urgensi dan sifat lokalitas masing-masing. Karena itulah, dalam aturan penyiaran, stasiun televisi harus menerapkan sistem stasiun jaringan (SSJ). Tidak ada istilah stasiun televisi nasional. Sebab, stasiun televisi itu harus sesuai wilayah siarang masing-masing. Meski penerapan SSJ ini masih banyak kendala. Jika siaran media tidak bersifat nasional maka publik bisa mengetahui kualitas dari calon pemimpin di daerahnya masing-masing. Informasi dari media sangat penting karena akan dijadikan sebagai rujukan bagi pemilih sebelum memilih.
Dimuat di Suara Merdeka edisi Selasa (13 Agustus 2019).