Scroll Top

MENGAWASI SEPENUH HATI

sudarsono karanganyar

MENGAWASI SEPENUH HATI

Oleh: Sudarsono, S. Fil.I

Anggota Bawaslu Kabupaten Karanganyar

 

Ungkapan judul di atas mungkin terlihat berlebihan bagi sebagian orang, namun bagi kami sebagai Pengawas Pemilu sesuai Perundang-undangan yang berlaku sangatlah niscaya. Mengutip pernyataan Anggota/Komisioner Bawaslu RI Periode 2017-2021, Rahmad Bagja bahwa kesuksesan pelaksanaan Pemilu 50% ditentukan oleh Penyelenggara Pemilu. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang disebut Penyelenggara Pemilu ada tiga (3) yaitu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Tugas, fungsi, dan kewenangannya tentu juga berbeda walaupun sama-sama disebut sebagai Penyelenggara Pemilu. Bawaslu berada di ranah pengawasan setiap tahapan, memberikan rekomendasi apabila terjadi pelanggaran administrasi, dan memutus sebuah penggaran tindak pidana Pemilu. Sementara KPU wilayah kerjanya berkenaan dengan teknis dan atau tata cara pelaksanaan Pemilu. Adapun DKPP fokus pada pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Penyenggara Pemilu sendiri dengan klasifikasi peringatan ringan, sedang, dan keras serta pemberhentian sementara dan atau pemberhentian tetap.

 

Pertanyaannya kemudian; Kenapa harus mengawasi sepenuh hati? Bukankah di Undang-undang atau di peraturan Badan Pengawas Pemilu (perbawaslu) sudah sangat jelas jika ditemukan atau terindikasi adanya pelanggaran? Izinkan penulis untuk mengurainya dengan menggunakan hati, hati yang bersih tanpa intervensi kepentingan apapun selain untuk tegaknya keadilan Pemilu yang beradab. Penulis sengaja mengambil beberapa contoh sampling untuk memperkaya penguraian dan diharapkan sarat makna;

 

Pertama: Bawaslu RI melalui Bawaslu Provinsi menginstruksikan kepada jajarannya (Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwascam, Pengawas Desa/Kelurahan, dan Pengawas TPS) terhitung sejak dimulainya masa tenang (tiga hari sebelum Pemungutan dan Penghitungan hasil Suara) pada Pilkada Serentak Tahun 2018 dengan tujuan meminimalisir terjadinya money politik/politik uang, politik SARA, dan kembali memastikan bahwa pelaksanaan Pilkada serentak khususnya di Kabupaten Karanganyar sesuai dengan regulasi yang berlaku. Tepatnya sehari/malam sebelum pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan, konstalasi perpolitikan Karanganyar sedikit memanas karena selain hanya diikuti dua Paslon (pasangan calon) baik Paslon Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Tengah maupun Paslon Bupati-Wakil Bupati Karanganyar, warga Ngadi-Luweh, Kecamatan Matesih digegerkan dengan datangnya beberapa orang (antara 6-8 orang) yang bukan asli/berdomisili di Karanganyar. Tentu sebagian warga merasa terganggu karena asumsi warga kedatangannya tidak jauh-jauh dari kepentingan Pilkada.

 

Orang-orang tersebut oleh warga digiring ke balai desa dan dilakukan klarifikasi sebagai mediatornya adalah Panwascam Matesih. Situasi sangat mencekam karena warga setempat mulai banyak berdatangan dan menunggu hasil klarifikasi yang dilakukan Panwascam beserta perangkat desa. Penulis di dampingi pengawal pribadi dari satuan Polres saat itu berada di kantor Panwascam Jumantono beserta Anggota Panwas Kabupaten Karanganyar (Nuning Ritwanita P) dan staf karena di waktu yang bersamaan, di salah satu Desa di Kecamatan Jumantono beberapa relawan salah satu Paslon Bupati mendapati oknum sedang menyebarkan selebaran yang berisi kampanye hitam untuk menyerang Paslon tertentu. Setelah mendapatkan pesan melalui Watshapp dari Anggota Panwascam Matesih, Penulis, staf, dan Walpri langsung menuju balai Desa yang dimaksud untuk memberikan pendampingan.

 

Sesampainya di balai Desa, penulis langsung bergabung dengan Panwascam Matesih dan ikut serta melakukan klarifikasi kepada pihak-pihak terkait (orang luar Karanganyar, warga Ngadi-Luweh, dan Kepala Desa Ngadi-Luweh). Setelah ditanyakan beberapa hal yang diantaranya, apakah terdapat indikasi kampanye/menggiring pemilih untuk mencoblos salah satu Paslon, tujuan berkunjung ke Karanganyar, dan asalnya dari mana sesuai dengan alamat yang tertera di Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan serta keinginan warga setempat seperti apa. Setelah dipastikan bahwa tidak memenuhi unsur pelanggaran Pilkada/Pemilu dan untuk tetap menjaga kondusifitas Desa Ngadi-Luweh dan Kabupaten Karanganyar, penulis beserta Panwascam meminta pengertian orang-orang tersebut untuk bisa meninggalkan Karanganyar pada saat itu juga dan untuk memastikan keselamatannya agar aparat keamanan (TNI-Polri) bisa mengantarkan sampai keluar dari wilayah Karanganyar. “Terima kasih banyak bapak-bapak semua sudah mengunjungi kami dan bersilaturrahim dengan masyarakat Karanganyar. Namun berhubung konstalasi perpolitikan Karanganyar agak memanas dan demi kenyamanan serta keselamatan kita semua. Kami dengan sangat meminta jenengan semua untuk bisa meninggalkan Karanganyar saat ini juga. Kami jamin keselamatan jenengan semua keluar dari Karanganyar. Kami akan meminta aparat kepolisian dan TNI untuk mengantar jenengan sampai keluar dari wilayah Karanganyar,” tutup penulis dengan diiringi kata ‘sepakat’ oleh semua pihak tak terkecuali orang-orang luar Karanganyar tersebut. Pada malam itu juga aparat keamanan (TNI-Polri) berkoordinasi terkait teknis pengantaran/pengawasan hingga keluar dari wilayah Karanganyar.

 

Kedua: Pada tahapan Pemilu Serentak Tahun 2019, Bawaslu Provinsi Jawa-Tengah menginstruksikan Bawaslu Kabupaten/Kota melakukan penertiban Alat Peraga Kampanye (APK) dan atau alat sosialisasi Peserta Pemilu Tahun 2019 yang melanggar peraturan Perundang-undangan sebanyak tiga kali di tahapan kampanye (dua kali saat masa kampanye dan sekali di masa tenang). Terbitnya surat instruksi tersebut dalam rangka menjaga asas keadilan sesama peserta Pemilu dan keindahan tata ruang kota. Tentu pada aspek ini tidak dapat dipungkiri masih banyak pihak yang merasa tidak mendapatkan keadilan dengan melihat di beberapa wilayah adanya perlakuan yang berbeda dari pada dirinya. Persoalan utama menurut hemat penulis, bukan soal adil atau tidak, melainkan adanya pemahaman yang tidak utuh terkait regulasi APK dan pemasangannya baik itu peserta Pemilu sendiri atau dari pihak ketiga. Karena hampir di seluruh wilayah Jawa-Tengah khususnya di Kabupaten Karanganyar, pemasangan APK dilakukan oleh pihak ketiga (berbayar).

 

Terbukti dari salah satu peserta Pemilu dalam hal ini Calon Legislatif (caleg) DPRD Kabupaten Karanganyar. Protes ia sampaikan via pesan Watshapp kepada penulis usai penertiban APK tahap terakhir yang dilakukan oleh tim gabungan (Panwas, Satpol PP, KPU, Kepolisian, dan Dishub) Kabupaten Karanganyar. Ia menanyakan dengan nada canda apakah APK yang terpasang di halaman/pekarangan rumahnya harus ditertibkan juga. Jawaban secara normatif atau sesuai Perundang-undangan yang berlaku pasti akan menyelesaikan masalah, namun penulis sengaja tidak langsung menyuguhkan Undang-Undang dan memilih meyodorkan beberapa pertanyaan juga sehingga tercipta proses dialektika “Apakah APK yang dimaksud usai Pemilu akan dipasang lagi? Memilih APK tetap terpasang atau terpilih sebagai Anggota Dewan?,”. Dari dialog tersebut kemudian ia (Caleg – red) bisa memahami tanpa merasa dipojokkan bahwa sekalipun terpasang di halaman/pekarangan rumah sendiri dan posisinya menghadap ke jalan (bisa di lihat khayalak umum) harus tetap ditertibkan.

 

Dari dua contoh tersebut dapat diambil benang merahnya bahwa tugas Penyelenggara Pemilu khususnya Bawaslu sangatlah berat, tidak hanya semata memastikan pelaksanaan Pilkada/Pemilu sesuai dengan Undang-undang tapi lebih dari itu semua adalah bagaimana menciptakan sebuah strategi komunikasi yang baik dalam rangka memberikan edukasi terhadap masyarakat/pemilih dan atau peserta Pemilu. Mengacu tagline Bawaslu saat ini “Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu” secara filosofi menurut penulis dapat dimaknai ‘Hanya dengan dekat dengan rakyat Pemilu itu bisa diawasi secara efektif, dan hanya dengan dekat dengan rakyat keadilan Pemilu dapat terwujud’. Mengutip sambutan sekaligus arahan Ketua Bawaslu Provinsi Jawa-Tengah, M. Fajar Saka dalam setiap moment (rakor dan lain-lain) bersama Bawaslu Kabupaten/Kota Se-Jateng. Ia slalu berpesan bahwa Bawaslu tidak mungkin bisa melakukan tugas-tugasnya sendirian dan tidak ada cara lain selain menyemarakkan sosialisasi partisipatif ke semua komponen masyarakat. Artinya, Bawaslu harus dekat dengan masyarakat selaku pelaku demokrasi dan sangat tidak mungkin program sosialisasi partisipatif tercipta manakala tidak ada ketersambungan komunikasi (dekat) antara Bawaslu dengan masyarakat itu sendiri.

 

Lebih dalam lagi, mengawasi sepenuh hati merupakan kerja-kerja ideologi bagi Pengawas Pemilu. Segala aktivitasnya harus diarahkan untuk perwujudan cita-cita demokrasi di Indonesia. Dari Pemilu, nasib sebuah bangsa bisa ditentukan. Tentu hal ini menjadi PR besar bagi Bawaslu secara kelembagaan untuk terus memastikan semua jajarannya tidak terkontaminasi oleh kepentingan sesaat-pribadi yang justru dapat merusak citra lembaga. Karena tidak dapat dipungkiri segala macam ujian (iming-iming materi, tekanan, dan ancaman) seringkali menghantui Pengawas Pemilu dari semua tingkatan. Sebelum oretan sederhana ini diakhiri, penulis hanya ingin mengatakan “Hanya paku yang lurus yang akan terus dihantam”.

Leave a comment

Skip to content