Ideologisasi Pengawas Pemilu; Ikhtiar Penegakan Keadilan Pemilu
Oleh: Sudarsono, S. Fil.I
(Kordiv. Organisasi dan Sumber Daya Manusia Bawaslu Kabupaten Karanganyar)
Perhelatan Pemilu Serentak Tahun 2019 telah usai. Ditandai penetapan Pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden Periode 2019-2024 dan penetapan Calon Legislatif terpilih Periode 2019-2024 baik tingkat pusat maupun tingkat daerah (Provinsi dan atau Kabupaten/Kota) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta dilaksanakannya sumpah/janji Anggota Dewan terpilih dibeberapa wilayah di Indonesia. Kendati pelaksanannya dianggap sukses dan diakui oleh Negara-negara dunia, Pemilu kali ini dengan pola baru (pemungutan dan penghitungan hasil suara Presiden-Wakil Presiden, DPR-D, dan DPD dilaksanakan secara serentak/hari yang sama) melahirkan catatan-catatan penting dengan harapan menjadi acuan evaluasi pada pesta demokrasi selanjutnya.
Hal sangat krusial selain banyak jatuhnya korban di jajaran Penyelenggara Pemilu (Bawaslu dan KPU) tak kalah penting juga soal ketidakpahaman yang utuh mengenai regulasi Pemungutan dan Pengitungan Hasil Suara (Tungsura) oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Kabupaten Karanganyar, Jawa-Tengah. Contoh kasus di TPS 23 dan TPS 24, desa Waru, Kecamatan Kebakramat dengan alasan efesiensi waktu dan kreativitas Penyelenggara kemudian menambah bilik suara melebihi aturan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2018 Tentang Norma, Standar, Prosedur, Kebutuhan Pengadaan, dan Pendistribusian Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilu Pasal 15 point (2) bahwa bilik pemungutan suara disediakan di setiap TPS sebanyak 4 (empat) buah, dan atau berdasarkan Surat Keputusan (SK) Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 999/HK.03.1-KPT/07/KPU/VII/2018 Tentang Kebutuhan dan Spesifikasi Teknis Penyelenggaran Pemilihan Umum. Kasus lain di TPS 3, Desa Karang Bangun, Kecamatan Matesih penyelenggara tingkat TPS (KPPS) melakukan penghitungan suara yang tidak sesuai dengan PKPU Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum Pasal 54 point (5) huruf e bahwa tanda coblos lebih dari 1 (satu) calon pada kolom yang memuat nomor urut calon, atau nama calon dari Partai Politik yang sama, dinyatakan sah untuk Partai Politik. Akibatnya jumlah suara menjadi membengkak dua kali lipat. Sehingga penghitungan ulang mengacu pada kertas C1 Plano harus dilakukan di tingkat Kecamatan untuk memastikan hasil suara dengan jumlah pemilih menjadi akurat.
Belum lagi fenomena yang terjadi di tingkat Pengawas Pemilu Ad hoc (Pengawas TPS) sangat beragam. Mulai dari persoalan umur berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (Pengawas TPS minimal berusia 25 tahun dan jenjang pendidikan SLTA/sederajat) yang mengharuskan Pengawas tingkat kecamatan (Panwascam) melakukan perekruitan seadanya agar di seluruh TPS, pengawasan tetap berjalan efektif tanpa mengindahkan perundang-undangan. Ditambah lagi minimnya waktu dari Pengawas TPS untuk memahami regulasi pengawasan dan juknis Tungsura juga merupakan problem yang sangat serius mengingat masa tugas Pengawas TPS hanya 30 hari atau satu bulan (dilantik H-23 dan dibubarkan H+7).
Ideologi
Kata Ideologi pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Prancis Antoine Destutt de Tracy pada akhir Abad 18 atau pada tahun 1796. Kata ini berasal dari bahasa Prancis yaitu idéologie. Gabungan dua kata yaitu idéo yang mengacu kepada gagasan dan logie yang mengacu kepada logos. Dalam terminologi Yunani digunakan untuk menjelaskan logika dan rasio. Ideologi secara etimologi adalah ilmu yang meliputi kajian tentang asal usul dan hakikat ide atau gagasan (baca: ideologi). Menurut Kodhi dan Soejadi dalam buku Filsafat, Ideologi, dan wawasan Bangsa Indonesia, ideologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang ide-ide atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar. Dalam sejarah pemikiran, ideologi identik dengan tata nilai (pandangan hidup) untuk menggapai sesuatu yang ideal.
Ideologisasi pengawasan adalah proses pengejewantahan ide yang digerakkan oleh tata nilai (integrity) dalam realitas untuk memastikan sebuah tahapan Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) atau Pemilihan Umum (Pemilu) berjalan sesuai Undang-undang. Kata kunci dari ideologi pengawasan adalah Pengawas Pemilu yang bekerja atas nama ideologi tentu dalam setiap geraknya tidak sekedar menggugurkan kewajiban di setiap tahapan Pilkada/Pemilu dan serta membuat laporan akhir pengawasan semata. Peranan Pengawas Pemilu tanpa menafikan partisipasi masyarakat sangatlah urgent mengingat ia (Pengawas Pemilu – red) menjadi tumpuan masyarakat dan menjadi ujung tombak penegakan keadilan Pemilu. Terlebih jika kembali ke dua kasus di atas, sangat tidak berlebihan apabila hendak mengatakan bahwa benteng terakhir dari kualitas hasil Pemilu salah satunya ditentukan oleh Pengawas Pemilu.
Lantas, Pengawas Pemilu yang seperti apa yang diharapkan menjadi ujung tombak penegakan keadilan Pemilu? Pertanyaan ini sangat penting untuk dijawab, setidaknya untuk mengurai fondasi ideal dalam menentukan calon-calon Pengawas kedepan. Mengutip sambutan Ketua Bawaslu RI, Abhan pada Peringatan HUT ke-74 Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2019 yang berjudul “Sumber Daya Manusia Bawaslu Unggul, Kunci Demokrasi Maju”. Dalam sambutannya, Abhan hendak menegaskan kepada seluruh jajaran Bawaslu se-Indonesia bahwa syarat mutlaq menjadi Pengawas Pemilu adalah memiliki integritas. Integritas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah nilai, mutu, sifat, dan atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh, sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Kecerdasan (intektual) dan kecakapan dapat dibenahi dengan belajar dan mengasah pengalaman. Akan tetapi tanpa integritas, lembaga Bawaslu hanya akan melahirkan orang-orang yang terserabut dari nilai-nilai fundamental dan justru menjadi benalu bagi demokrasi Indonesia. Integritas merupakan elemen dasar dalam kerangka ideologi. Keduanya membentuk pola kerja yang menghasilkan karya nyata untuk kepentingan lebih besar yaitu demi bangsa dan Negara.
Membumikan Ideologi Pengawasan
Setiap ideologi haruslah membumi dan mengakar, karena ia memiliki visi perubahan. Perubahan akan tercipta manakala diletakkan pada landasan dasarnya yaitu masyarakat itu sendiri. Begitu pula dengan ideologi pengawasan. Membumikan berarti sama dengan melakukan pendidikan politik yang massif dan terencana dalam kerangka menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya Pemilu yang bersih dan beradab. Pilihan strategis ini tentu bukan tanpa dasar, tagline Bawaslu telah mengingatkan Pengawas Pemilu untuk slalu bersama rakyat dan dengan bersama rakyat Pemilu yang adil dapat diwujudkan. Bersama itu sepenuhnya, bukan disaat membutuhkannya apalagi sebatas retorika belaka.
Format pendidikan politik yang merupakan bagian dari ideologisasi Pengawasan harus mulai dirumuskan oleh Bawaslu kedepan khususnya Kabupaten/kota dalam mempersiapkan Pemilu mendatang atau Pilkada Serentak Tahun 2020, termasuk kegiatan-kegiatan yang bersifat ceremonial mulai dirubah ke arah yang lebih substansial. Dilaksanakannya sekolah Kader Pengawasan atas kerjasama Bawaslu RI dengan Bappenas telah membuka terobosan baru dan sekaligus hendak menyindir jajarannya (Bawaslu Kabupaten/Kota) bahwa sudah saatnya Pengawas Pemilu menyisir grass roots (akar rumput) di wilayah cakupannya, tentu melalui pendekatan yang disesuaikan dengan local wisdom (kearifan lokal) masing-masing. Seperti yang dilakukan Bawaslu Provinsi Jawa-Tengah dalam kurun tahun 2019 (di sela-sela tahapan Pemilu serentak). Bawaslu Kabupaten/Kota didorong untuk melaksanakan kegiatan sosialisasi partipatif berbasis komunitas yang kemudian melahirkan karya-karya inspiratif, salah satu contoh lahirnya Desa Bawaslu di Kabupaten Karanganyar. Tidak puas sampai disitu, usai pelaksanaan Pemilu 2019 Bawaslu Provinsi Jateng kembali meminta Kabupaten/Kota untuk mencanangkan pembentukan 3 (tiga) Desa Pengawasan dan 3 (tiga) Desa Anti Money Politik dan kegiatan-kegiatan lainnya yang semuanya harus terbentuk/terlaksana paling lambat bulan Desember 2019.
Laksana air yang menetesi bebatuan, sekeras apapun batu itu lambat laun akan hancur jua jika ditetesi setiap waktu. Membangun kesadaran masyarakat tidak cukup hanya sekali-dua kali, ia harus kontinyu, sabar, dan totalitas. Namun sejarah telah membuktikan gerakan yang dibangun dengan konsep matang dan didukung oleh manusia-manusia profetik (berintegritas dan memiliki ideologi) akan melahirkan perubahan yang signifikan. Mungkin perubahan itu tidak terjadi saat ini, tapi setidaknya landasan besar sudah mulai ditancapkan sebagai warisan untuk generasi mendatang.