“OPINI”
Mencapai kesuksesan butuh proses. Baik itu dalam studi, karir pekerjaan, atau merintis usaha. Jalan dilewati, rintangan ditaklukkan. Lika-liku menjadi cambuk untuk meraih puncak. Demikian juga dinamika yang harus ditempuh untuk menjadi wakil rakyat. Menggalang simpati publik dan kemudian dikonversikan menjadi perolehan suara butuh perjuangan. Apalagi persaingan menjadi wakil rakyat dewasa ini menjadi impian banyak kalangan. Kalau dulu wakil rakyat terdiri dari para aktivis mahasiswa atau organisasi pemuda dan massa, sekarang latar belakang politisi lebih heterogen. Gaji dan tunjungan yang besar seakan menjadi pemantik dan magnet sehingga orang berbondong mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.
Banyak anggapan puncak dari politik adalah kekuasaan. Meski dalam filosofi, politik bukanlah hanya mengejar kekuasaan. Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles). Namun hambar rasanya orang yang terlibat dalam politik praktis tidak mendapatkan kekuasaan atau singkatnya jabatan yang didalamnya terkandung wewenang, fasilitas, gaji dan status sosial .
Tetapi secara sistemik melalui kekuasaanlah ide-gagasan akan dapat mudah diaplikasikan. Sebagiannya untuk mewujudkan visi misinya dalam berpolitik. Dengan demikian memasuki dunia politik utamanya untuk menjadi wakil rakyat secara etik harus bertitik tolak dari sebuah visi yang secara prosedural harus ditempuh lewat pemilu. Visi seorang caleg tentu dipengaruhi dengan basis kompetensi pengetahuan yang menjadi spesialisasinya karena dengan kompetensi itulah dapat ditakar seberapa dalam ia mampu menyelami permasalahan masyarakat sekaligus memformulasikan solusinya. Ini menjadi keniscayaan karena diantara fungsi wakil rakyat adalah menyerap aspirasi dan melakukan agregasi untuk kepentingan rakyat.
Landasan Etik dan Kompetensi
Ada dua landasan etik ketika seseorang berkehendak untuk menjadi wakil rakyat. Pertama, landasan prosedural dalam sebuah kontestasi yang demokratis. Kedua, landasan kompetensi berkenaan dengan tanggung jawab dan integritasnya sebagai wakil rakyat. Landasan prosedural menjadi tulang punggung pembentukan lembaga-lembaga politik yang dibentuk dalam sistem politik yang demokratis. Keputusan dan tindakan politik harus melalui suatu diskursus etika yang memasukkan unsur universalisme etik sebagaimana yang digagas oleh Habermars, sehingga hasil dari tindakannya memiliki legitimasi etis. Dalam perspektif etika diskursus ada dua prinsip yang harus terpenuhi yaitu; klaim sahih hanya apabila memperoleh persetujuan semua peserta dalam suatu diskursus politik. Selain itu dapat dinyatakan sahih apabila mengekspresikan kehendak umum.
Pemilu merupakan presedur yang harus ditempuh untuk menjadi wakil rakyat. Kehendak rakyat untuk memilih seharusnya dibimbing oleh pengetahuan atau rasionalitas yang memadai sehingga produk pilihannya sesuai dengan fungsi yang dikehendaki oleh lembaga-lembaga politik yang dimaksud. Selaras tugas wakil rakyat, diantaranya adalah menjalankan fungsi aspirasi dan agregasi kepentingan rakyat dalam tata kelola sistem pemerintahan dan kenegaraan. Kompetensi seseorang menjadi syarat dan tanggung jawab moral sebelum menjalani kandidasi dan kontestasi. Kemampuan dalam memenangkan kontestasi yang tidak diimbangi dengan kompetensi di ragam tugas sebagai seorang wakil rakyat akan berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas kinerja sebagai seorang legislator. Ini merupakan tanggung jawab etik bagi calon maupun partai yang mengusungnya.
Berkaca pada seleksi calon legislatif kemarin setidaknya terdapat tiga kategori berdasarkan basis sosial yang menjadi tumpuannya dalam beraktivitas. Kelompok pertama calon merupakan kader. Orang seorang yang memang dipersiapkan dan dilatih sedemikian rupa sehingga mempunyai militansi perjuangan partai. Kelompok Kedua adalah kaum borjuis, berbekal kemampuan capital atau uang karena latar belakangnya seorang pengusaha bahkan artis. Ketiga adalah kultural, bisa berasal dari golongan piyai yang mempunyai nama besar garis keturunan keluarga. Ningrat, bisa juga anak pejabat atau dalam kalangan santri adalah keluarga kyai. Sistem proporsional terbuka dengan one man one vote, menjadikan mereka terutama golongan kedua dan ketiga menjadi vote getter partai. Tak ada yang salah karena mereka menjadi wakil dan penyampai aspirasi golongannya. Sementara UUD juga melindungi warganya untuk dapat dipilih, kecuali dicabut haknya dalam pengadilan.
Semakin beragamnya paradigma–background wakil rakyat di satu sisi menguntungkan partai tetapi disisi lain juga menjadi beban kelembagaan bagi partai maupun lembaga legislatif karena ketidaktahuan wakil rakyat terpilih terkait fungsinya. Inilah lemahnya sistem pemilu kita. Karena yang terpilih terkadang belum teruji kapasitasnya. Pemahaman fungsi-fungsi DPR menjadi hal yang mutlak dan tak dapat ditawar. Fungsi legislasi, artinya DPR berfungsi sebagai lembaga pembuat undang-undang. Fungsi anggaran, artinya DPR berfungsi sebagai lembaga yang berhak untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Fungsi pengawasan, artinya DPR sebagai lembaga yang melakukan pengawasan terhadap pemerintahan yang menjalankan undang-undang haruslah segera dimengerti. Jika tidak, keberadaan mereka yang kontra produktif hanyalah pemborosan keuangan negara. DPR bukanlah tempat untuk belajar, melainkan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Masyarakat menanti kontribusi jernih wakilnya dengan pemikiran-pemikiran idealis, bukan untuk bagi-bagi kue kekuasaan.
Lebih lanjut kesenjangan kompetensi dengan bidang tugas yang diembannya tentu merugikan dan membuat semua prosedur demokratis yang telah dijalani menjadi sebuah kesia-siaan. Demokrasi yang dicita-citakan sebagai sebuah sistem ideal untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan dapat mengalami penurunan derajat kepercayaan bahkan apatisme publik. Rendahnya kompetensi dan apalagi jika diikuti rendahnya integritas tentu tidak menghasilkan diskursus publik sebagai sebuah pertarungan kualitas gagasan dan argumentasi untuk memperluas ruang pendidikan politik bagi rakyat, sekaligus lemahnya kemampuan mengartikulasikan kehendak publik lewat kebijakan pembangunan. Bahkan seringkali menjadi ironi dengan munculnya sikap muak masyarakat pada wakil rakyat yang hanya mampu menyelesaikan urusannya sendiri sementara kepentingan rakyat terbengkelai.
Tak dipungkiri out put dari wakil rakyat saat ini juga ditentukan oleh proses seleksi caleg di internal partai. Dimana proses yang baik tentu akan berdampak positif dengan yang dihasilkan. Namun kecenderungan seleksi caleg di internal parpol di era keterbukaan saat ini masih terkesan tertutup dan tidak berbanding lurus dengan harapan masyarakat. Partai lebih mengedepankan figur pendulang suara dibandingkan penilaian akan kredibilitas, akuntabilitas, dan kapasitas seseorang. Padahal proses itu menentukan value seorang wakil rakyat.
Bagaimana mendapatkan figur ideal diperlukan terobosan produk hukum untuk menekan sistem demokrasi yg cenderung kapitalis seperti saat ini. Terkait seleksi caleg, haruslah diawali di internal parpol. Peran internal parpol dalam menggeser caleg atas kemampuan capital harus diejawantahkan. Diiringi regulasi yang mengarah pada situasi ideal, perlu didorong melalui pkpu tahapan pendaftaran calon “pencalegan”, tanpa meniadakan hak seseorang untuk dipilih. Dengan kata lain frase seseorang menjadi caleg harus melalui proses perkaderan di parpol perlu mendapat atensi. Dan jika terbuka ruang dibunyikan syarat caleg harus menjadi anggota parpol minimal 2,5 tahun sebelum pemilu mendatang. Sehingga muncul kader-kader parpol yang teruji, serta menghindari kutu loncat yang aji mumpung yang tidak jelas arah perjuangannya ketika menjadi wakil rakyat. Fungsi parpol terkait pendidikan politik terwujud, dan caleg karbitan akan pudar dengan sendirinya. Jika dalam beberapa peristiwa misalnya dalam pemilihan Kades ada tahapan uji kompetensi maka dengan format yang jauh labih baik, hal yang sama dapat juga diterapkan dalam menentukan kandidat yang akan diikutsertakan dalam pemilihan calon wakil rakyat.
penulis : Andyka Fuad Ibrahim (Anggota Bawaslu Kabupaten Blora)