Scroll Top

OPINI: Perempuan Lawan Politik Uang

PEREMPUAN LAWAN POLITIK UANG

oleh : Sumarni Aini Chabibah

Anggota Bawaslu Kab. Magelang (Koodinator Divisi Sengketa)

 

Tiada demokrasi tanpa perempuan, tiada pemilu adil dan berintegritas tanpa partisipasi perempuan. Sekiranya “mantra” tersebut bisa mengilustrasikan betapa pentingnya peran perempuan dalam demokrasi di negeri ini.

Semangat dan konsep percaya diri apabila perempuan memegang peranan penting dalam memperbaiki kualitas demokrasi. Kehadiran perempuan pula bukan sebagai pemanis atau hanya pelengkap semata. Namun lebih dari itu, kaum ibu mampu menjadi promoter perbaikan demokrasi di Indonesia.

Sudah menjadi keharusan, perempuan menempati ruang-ruang strategis publik laiknya ‘lembaga domestik’. Terlebih, tradisi kehidupan sosial politik kini masih menempatkan perempuan di ‘tepian’. Parahnya lagi, perempuan kerap dianggap sebagai ‘kaum marginal’. Padahal sejatinya, separuh lebih jumlah pemilih pada Pemilu 2019 adalah perempuan. Secara kuantitas, perempuan lebih mayoriti ketimbang laki-laki.

Mengenali fakta itu, maka menjadi keniscayaan bila perempuan wajibi bangkit untuk melakukan perlawanan terhadap buruknya kualitas demokrasi Indonesia. Perempuan bisa berperan sesuai dengan potensi dan kapasitas untuk hadir dalam semua institusi demokratik. Banyak ruang yang harus disesaki oleh perempuan baik sebagai penyelenggara, calon legislatif (caleg), pengawas partisipatif, dan masyarakat pemilih. Perempuan itu sendiri yang memastikan hadir dalam ruang-ruang tersebut sebagai upaya untuk mengurangi ‘devisit of democracy’.

Potensi dan sumberdaya perempuan sangat besar. Data Bawaslu Kabupaten Magelang menyebutkan bahwa total daftar pemilih  tetap (DPT) Kabupaten Magelang sebanyak 988.879 jiwa dengan rincian pemilih perempuan sejumlah 496.561 jiwa sedangkan pemilih laki-laki sejumlah 492.318 jiwa. Sementara itu, pengguna hak pilih dalam DPT pada Pemilu 2019 total 850.120 pemilih dengan rincian pengguna hak pilih perempuan sejumlah 428.446 sedangkan laki-laki 421.674 jiwa. Mendasari hal itu, sebenarnya sudah cukup mengasumsikan jika sumber daya perempuan sangat besar. Potensi secara kuantitas ini mestinya tak hanya sekadar ‘kayu bakar’. Namun, perempuan harus hadir dan ambil peran dalam menentukan arah kebijakan pemerintah, salah satunya memunculkan ide atau gagasan cemerlang terlaksananya Pemilu.

Di Indonesia, yang notabenenya menganut sistem demokrasi, Pemilu pun digelar dalam jangka waktu lima tahunan. Saat ini Indonesia telah melaksanakan 12 kali pemilu sejak tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014 dan yang baru saja terlaksana, yaitu pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden serta wakil presiden secara serentak pada tahun 2019 ini.

Masing-masing pemilu yang telah dilaksanakan memiliki cerita dan catatan sejarahnya sendiri. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, pemilu tahun 2019 ini sangatlah spesial. Keistimewaan itu karena dalam satu waktu pemilih datang dan masuk ke dalam tempat pemungutan suara (TPS) untuk memilih anggota DPR RI-DPD-DPRD Provinsi-DPRD Kabupaten serta memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam satu waktu atau serentak.

Pemilu serentak pertama dalam sejarah praktik  demokrasi di Indonesia termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum huruf d ‘bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2000 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil presiden, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara Pemilihan Umum, dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah perlu disatukan dan disederhanakan menjadi satu undang-undang sebagai landasan hukum bagi pemilihan umum secara serentak’. (Pemerintah Republik Indonesia, 2017).

Pemilihan umum merupakan bagian dari proses membangun politik demokratik di Indonesia. Tentunya politik demokratik yang berkeadaban menjunjung tinggi etika dan moral. Demokrasi adalah salah satu sistem politik yang bisa menghasilkan produk-produk politik yang baik, maka harus dilakukan dengan cara yang baik pula. Namun terkadang, upaya yang baik tak selalu melahirkan hal yang baik. Karena setelah Indonesia begitu mengagungkan demokrasi justru memunculkan masalah baru yaitu politik uang atau money politics.

Bahkan, money politics seringkali menjadi catatan yang selalu menyertai Pemilu dari tahun ke tahun. Dalam ilmu bahasa Indonesia, politik uang dapat dipadankan dalam dengan kata suap. Sedangkan arti suap dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah uang sogok. Politik uang secara umum dipahami dengan kegiatan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk mempengaruhi pilihannya.

Meski praktik politik uang menjadi rahasia umum, faktanya sukar untuk menjerat para pelakunya. Sekalipun regulasi pemilu yang mengatur tentang pidana bagi pelaku politik uang sudah dilahirkan.

Kasus Politik uang di Kabupaten Magelang misalnya, dalam sejarah Pemilu juga tidak pernah hilang. Berdasarkan pada data indek kerawanan pemilu (IKP) dari masa ke masa masih ditemukan kasus yang sebenarnya menciderai kualitas demokrasi itu. Bahkan, Pemilu 2019 Bawaslu Kabupaten Magelang menangani kasus dugaan politik uang lebih dari satu kasus.

Tercatat ada lima kasus dugaan politik uang baik yang bersumber dari laporan masyarakat ataupun dari temuan Bawaslu sendiri. Lima kasus itu terbagi dalam dua tahapan satu kasus dugaan politik uang pada masa kampanye dan empat kasus dugaan politik uang pada masa tenang. Meskipun kasus itu tidak berlanjut karena tidak terpunuhinya unsur materil sebagai tindak pidana pemilu, namun tergambar jelas bahwa praktik politik uang di Kabupaten Magelang masih mewarnai kontestasi pesta demokrasi tahun 2019 ini. (Data Bawaslu Kabupaten Magelang per bulan April 2019).

Bentuk politik uang

Politik uang didasarkan pada bentuknya tidak melulu berbentuk uang namun bisa berupa janji-janji dan berbagai materi lainnya. Materi lainnya tidak ada definisi yang membatasi sehingga menjadi celah para pelaku politik uang untuk berkreasi dan berlomba-lomba mencari peruntungan. Pelaku politik uang biasanya akan menyasar kelompok-kelompok strategis yang sudah terbentuk di lingkungan masyarakat dengan dalih memberikan bantuan untuk kelompok tersebut umumnya berupa seragam ataupun fasilitas umum yang sedang dibutuhkan di masyarakat itu.

Strategi Politik uang

Strategi yang digunakan para pelaku praktik politik uang dalam melancarkan aksinya adalah strategi serangan fajar dan mobilisasi massa.  Serangan fajar adalah istilah yang digunakan untuk menyebut bentuk politik uang dalam rangka membeli suara yang dilakukan oleh satu atau beberapa orang untuk memenangkan calon yang bakal menduduki posisi sebagai pemimpin politik. Serangan fajar umumnya menyasar kelompok masyarakat menengah ke bawah dan kerap terjadi last minute menjelang pelaksanaan pemungutan suara.

Sedangkan mobilisasi massa biasa terjadi pada saat  masa kampanye yang melibatkan penggalangan massa dengan iming-imingan sejumlah uang untuk meramaikan kampanye yang diadakan oleh partai politik. Penggunaan uang biasanya untuk biaya transportasi, uang lelah serta uang makan, dengan harapan massa yang datang pada saat kampanye akan memilihnya kelak. Dalam memobilisasi masa disinilah money politic ini bermain dengan cara pembelian pengaruh, dengan alat  para tokoh masyarakat yang dijadikan sebagai penggalang masa untuk mempengaruhi pemilih sesuai dengan pesanan kandidat, dalam rangkaian kampanye pun sebagian masyarakat diberi uang makan dan bayaran untuk mengikuti kampanye akbar.

Penyebab Politik Uang

Kemiskinan  menjadi salah satu penyebab terjadinya politik uang. Sebagaimana kita ketahui, angka kemiskinan di Indonesia cukup tinggi. Demikian halnya di Kabupaten Magelang. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjan. Kondisi miskin tersebut seperti memaksa sebagian masyarakat untuk segera mendapat uang. Politik uang pun menjadi ajang para masyarakat untuk berebut uang. Mereka yang menerima uang terkadang tidak memikirkan konsekuensi yang akan diterima yaitu, tindakan suap dan jual beli suara yang jelas melanggar hukum. Yang terpenting adalah mereka mendapat uang dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, kendati bersifat semu.

Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang politik juga menjadi penyebab merebaknya aktivitas politik uang. Tidak semua orang tahu apa itu politik, bagaimana bentuknya, serta apa yang ditimbulkan dari politik. Itu semua bisa disebabkan karena masih minimnya edukasi politik di lembaga pendidikan ataupun masyarakatnya sendiri yang memang apatis terhadap politik. Oleh karena itu, tatkala ada pesta demokrasi, seperti pemilu, masyarakat justru bergeming, apatis, tidak mengenal partaipun biasa saja.

Tidak tahu calon anggota legislatif juga bukan “dosa besar”. Bahkan, ada sebagian anggapan yang tarafnya sudah mengkhawatirkan yakni mengasumsikan bahwa tidak ikut pemilu pun tidak masalah. Kondisi seperti ini menyebabkan maraknya politik uang. Masyarakat yang acuh tak acuh dengan pemilu dengan mudah menerima pemberian dari para peserta pemilu. Politik uang pun dianggap tidak masalah bagi mereka. Mereka tidak akan berpikir jauh ke depan bahwa uang yang diberikan itu suatu saat akan ‘ditagih’ kembali oleh para calon kandidat yang nantinya terpilih. Mereka tidak menyadari adanya permainan politik yang sebenarnya justru merugikan diri mereka sendiri.

Penyebab lain yang mendorong terjadinya politik uang adalah kebudayaan yang berlaku di masyarakat yaitu saling memberi. Anggapan lebih parah lagi karena politik uang disangkakan sebagai rezeki atau uang kaget yang hanya didapat oleh orang-orang beruntung saja. Hal ini kian miris ada budaya yang berkembang di tengah masyarakat tentang pepatah yang menyebut jika rezeki tak boleh ditolak. Anehnya, hal itu yang terpatri dalam sanubari masyarakat.

Uang dan segala bentuk politik uang dari peserta pemilu dianggap sebagai rezeki dan tidak boleh ditolak. Lantaran uang sudah diberi, secara otomatis masyarakat harus memberi sesuatu pula untuk peserta pemilu, yaitu dengan memilih, menjadi tim sukses, bahkan ikut menyukseskan politik uang demi memenangkan peserta pemilu tersebut. Hal itu semata-mata dilakukan sebagai ungkapan terima kasih dan rasa balas budi dan ‘pakewuh’ masyarakat terhadap si pemberi uang.

Perempuan Lawan Politik uang

Mendadari fakta bahwa perempuan menjadi dominasi pemilih sekaligus menjadi pihak yang rentan terhadap praktik politik uang, maka perempuan sebenarnya di sini bisa dijadikan kunci, dalam penerapan pencegahan politik uang. Strategi pengawasan yang diterapkan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Magelang bahkan hampir seluruhnya melibatkan kalangan perempuan, karena kaum ini menjadi tokoh kunci dalam peran serta mereka menjaga marwah demokrasi.

Perempuan lebih sering diskusi. Walaupun sifat mereka hanya antartetangga, antarrekan kerja, maupun keluarga mereka sendiri. Dibandingkan dengan kaum pria, secara psikologi perempuan atau ibu rumah tangga punya kekuatan tersendiri untuk membuat keputusan. Tak heran jika banyak sekali penyebutan “The Power of Emak-emak”, menunjukkan jika kaum perempuan punya potensi menyelesaikan suatu persoalan yang sukar dituntaskan oleh kaum pria. Atas dasar itu, Bawaslu Kabupaten Magelang memotori kegiatan sosialisasi, pencegahan, sharing, maupun diskusi dengan para tokoh kunci maupun pengendali insan keluarga yakni perempuan. Terlebih di Kabupaten Magelang cukup banyak memiliki organisasi-organisasi perempuan, baik keagamaan, kemasyarakatan, kepemudaan, maupun pelajar/mahasiswa.

Pelibatan masyarakat kaum perempuan sekali lagi menjadi strategi “seksi” yang ditempuh Bawaslu Kabupaten Magelang untuk menggelorakan masyarakat memerangi atau minimal menolak praktik politik uang yang dapat menciderai demokrasi bangsa ini. Beragam organisasi massa perempuan yang pernah digugah hatinya agar turut serta menjadi kader antipolitik uang di Kabupaten Magelang sangat kompleks. Mulai dari Fatayat NU, Aisiyah Muhammadiyah, PKK, Dharma Wanita Persatuan, Persit, dan sebagainya.

Berdasarkan hasil pengawasan pada Pemilu era sebelumnya di Kabupaten Magelang, diketahui bahwa sikap perempuan terhadap politik uang dapat klasifikasikan ke dalam tiga varian. Pertama, perempuan teguh bersikap menolak politik uang dalam bentuk apapun; kedua, perempuan menerima politik uang dan menjadikan uang sebagai faktor penentu pilihan politiknya;  dan ketiga, perempuan menerima politik uang tetapi tidak mempengaruhi pilihan politiknya.

Data di atas menunjukan bahwa perempuan masih menjadi korban politik uang yang dilakukan para calon pemimpin dalam kontestasi politik. Hal itu perlu disikapi bersama oleh perempuan.

Langkah perlawanan perempuan terhadap politik uang, selain dengan menambah pengetahuan dan sosialidasi terhadap aturan kepemiluan, Bawaslu Kabupaten Magelang juga mulai  meningkatkan keterwakilan perempuan dalam institusi demokratik, salah satunya adalah pengawas partisipatif yang lebih dari 50 persennya adalah perempuan. Kemudian pada masa rekruitmen Panwascam, Bawaslu Kabupaten Magelang juga memperhatikan keterwakilan perempuan di setiap kecamatan. Sebab Bawaslu menilai perempuan mampu sebagai salah satu basis utama sosialisasi dan pendidikan pemilih dengan harapan mereka bisa melek politik, sehingga tak melulu kaum perempuan menjadi korban atas pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh para calon kandidat seperti politik uang, tapi justru mampu tampil sebagai pencegah dan pembangkit massa anti kecurangan.

Peran perempuan di sini sekarang tak hanya menjadi subjek pengawasan. Bahkan pascaeta reformasi derajat perempuan selalu ditonjolkan. Sebut saja soal keterwakilan perempuan di dunia demokrasi, sehingga dalam dua dekade terakhir kaum perempuan kini banyak menghiasi panggung-panggung politik. Mereka mau terjun dan berpartisipasi aktif dalam institusi demokratik. Dengan jumlah keterwakilan perempuan yang  cukup memadai semestinya mampu mengubah komposisi ini menjadi kekuatan besar yang bisa mereduksi tindakan negatif, berupa kecurangan demokrasi. Oleh karena itu, diperlukan langkah guna meningkatkan keterwakilan perempuan agar strategi yang diwacanakan dapat berjalan dengan baik. Salah satunya, bisa menggunakan percepatan affirmative action (tindakan afirmatif) sebagai sebuah kebijakan startegis yang legal dalam undang-undang.

Affirmative action dalam bentuk kuota gender ini tidak hanya sebagai alat untuk memperkuat partisipasi politik kaum perempuan di ranah publik, akan tetapi juga merupakan realisasi dari politik gender. Secara khusus, affirmative action ini merupakan strategi kelembagaan yang efektif untuk mempromosikan kesetaraan gender yang sesungguhnya (substantial) untuk kelompok perempuan yang tidak terwakili dalam politik, di samping kesetaraan di muka hukum. Potensi keuntungan yang bisa di dapat tidak sekadar peningkatan jumlah wakil perempuan, melainkan yang lebih penting lagi adalah pemberdayaan status kaum perempuan sebagai warga Negara.

Untuk meningkatkan pencegahan terjadinya politik uang yang menyasar kaum perempuan perlu diperhatikan empat hal yaitu pertama, pemilih perempuan tidak memilih pasangan calon yang jelas melakukan politik uang. Tingginya biaya politik yang dikeluarkan oleh kandidat pasangan calon dalam pelaksanaan tahapan pemilu tentu memicu perilaku koruptif kemudian hari.

Kedua, meneguhkan kembali fungsi seorang ibu sebagai madrasatul ula. Seorang ibu harus senantiasa membiasakan dan memperkenalkan budaya demokrasi di tingkat keluarga. Di dalam lingkungan sehari-hari perempuan sebagai ibu harus menanamkan nilai-nilai anti korupsi yaitu, kejujuran, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani dan adil pada anak-anak di rumah.

Ketiga, optimalisasi pendidikan politik dan pendidikan pemilih perempuan. Tujuannya membentuk dan menumbuhkan orientasi politik pada setiap individu dan kelompok. Proses pendidikan politik ini dimaksudkan agar pemilih perempuan dapat menjadi warga negara  yang sadar dan menjunjung tinggi akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.

Keempat, pemerintah mengalokasikan anggaran khusus untuk sosialisasi kepada kaum perempuan. Sosialisasi ini intens dilakukan, agar informasi kepemiluan terdistribusikan secara merata sampai ke pelosok desa.

Simpulannya maka perempuan bukan manusia ‘kayu bakar’ yang akan habis dilalap api, namun perempuan justru mampu menjadi ‘manusia besi’ yang sulit ditaklukan. Ia begitu istimewa,  maka keistimewaannya ini dapat diubah menjadi kunci utama dalam membentuk masyarakat demokrasi. Selain itu, keunggulan secara kuantitas dan potensi perempuan juga seiring sejalan dengan penegakan hukum dan prosedur-prosedur demokrasi yang dibutuhkan. Perempuan adalah prasyarat mendasar adanya kese-imbangan partisipasi dan perwakilan politik antara kaum perempuan dan laki-laki. Apalagi di mata negara, hukum, dan bahkan agama semuanya mengajarkan kepada manusia bahwa antara laki-laki dan perempuan adalah setara.

Leave a comment

Skip to content