Scroll Top

OPINI : Membumikan Pengawasan Pemilu dengan Desa Anti Politik Uang

Andyka-Fuad-Ibrahim-Bawaslu-Kabupaten-Blora

Membumikan Pengawasan Pemilu dengan Desa Anti Politik Uang

oleh : Andyka Fuad Ibrahim

Anggota Bawaslu Kabupaten Blora

Partisipasi politik rakyat merupakan nyawa demokrasi. Pemilu berikut seperangkat struktur dan sistem dibangun dengan biaya mahal untuk melayani kepentingan ini. Dan kini salah satu tantangan berat dalam partisipasi politik rakyat adalah politik uang. Ditengarai politik uang, yakni praktek “curang” jual beli suara dalam kontestasi pemilihan merupakan senjata paling ampuh untuk memenangkan kandidat. Dilihat dari sumbernya uang dapat berasal dari kandidat itu sendiri maupun pihak lain yang punya pamrih untuk mendapatkan keuntungan dari kemenangan tersebut. Akibatnya, jaringan, struktur dan sistem yang dijalankan dalam politik uang sedemikian rumit dan masif. Hingga merebaklah demokrasi transaksional yang menjadi benalu bagi demokrasi partisipatif. Tekanan ekonomi ditengarai menyebabkan virus politik uang semakin menjadi, meluas dan mendalam. Ditimpali dengan perilaku pejabat-pejabat yang kurang aspiratif menyebabkan pemilu menjadi ladang subur perburuan uang oleh sebagian rakyat. Dan fakta begitu masifnya fenomena ini seakan-akan rakyat telah menganggap politik uang sebagai hal yang lumrah.

Melawan kebiasaan masyarakat memang tak mudah. Tapi harus disadari jika kebiasaan membagi-bagikan uang untuk memperdayai pilihan rakyat itu hanya akan menguntungkan golongan the have saja. Substansi demokrasi dari negeri asalnya Yunani, demos:rakyat; kratos:pemerintahan, berarti pemerintahan dari rakyat, sehingga rakyat sesungguhnya adalah merdeka dalam memilih pemimpin ataupun wakilnya. Karena rakyatlah pemegang kedaulatan itu.

Jika pemerintahan rakyat dibangun dengan kesadaran uang, maka pemerintahan yang dapat mandat pastinya juga akan lebih mementingkan pundi-pundi uangnya ketimbang mementingkan rakyatnya, sehingga rakyat telah dikalahkan. Sudah saatnya rakyat mulai disadarkan, reposisi rakyat ke perannya. Jika di masa pemerintahan orde baru pilihan rakyat ditakut-takuti dengan teror negara, dan kemudian di masa setelah reformasi pilihan rakyat diperdayai dengan uang, sudah waktunya pilihan rakyat dikembalikan pada hati nurani untuk menghasilkan kemurnian pilihan. Rasionalitas harus dikedepankan. Karena pilihan yang dipengaruhi dengan uang, maka pilihan tersebut bukanlah pilihan yang sesungguhnya. Pilihan yang sesungguhnya adalah ketika warga negara dibiarkan melakukan penilaian secara jernih terhadap siapa yang hendak dipilih sebagai pemimpin atau sebagai wakilnya. Memilih pemimpin bukanlah ibarat memilih tukang cukur rambut, yang jika salah cukur akan terhapus dosanya setelah tumbuhnya rambut. Waktu se-bulan rambut sudah tumbuh, sementara salah pilihan akan menyebabkan 5 tahun yang mengecewakan.

Menggagas Desa Tutup, “Desa Anti Politik Uang”

Mustahil, ngoyo woro kesan pertama mendengar dan menyebut desa anti politik uang ditengah-tengah iklim demokrasi seperti ini. Tak sedikit pula pihak yang pesimis, mengernyitkan dahi, dan acuh tak mendukungnya. Memang ini ada sebab yang mengakibatkan perang terhadap politik uang ini terasa sulit dan berat. Berbekal sebuah common interest bahwa politik uang sangat merugikan, praktek curang ini oleh karenanya harus dihilangkan. Dan sejalan dengan tugas sebagai Bawaslu Kabupaten Blora bahwa dalam UU (7/2017), mencegah terjadinya praktik politik uang adalah amanah yang harus ditunaikan. 3 maret 2019, 1 bulan 14 hari menuju pemilu serentak 2019. Desa tugu batas kota, bagian barat Blora, yakni Desa Tutup, di deklarasikan sebagai Desa Anti Politik Uang bersama-sama sahabat Bawaslu.

Optimisme jajaran Bawaslu Blora untuk memerangi politik uang di Desa Tutup Kecamatan Tunjungan dimantapkan demi Pemilu yang bersih, berintegritas dan bermartabat. Rangkaian proses panjang diawali dengan pertemuan-pertemuan tokoh masyarakat beberapa kali, pemuka agama, serta stakeholder yang lain itu tak sia-sia. Deklarasi dapat berjalan dan mendapat dukungan masyarakat luas. Menjadi satu-satunya Desa Anti Politik Uang di Blora yang menjadi prasasti kebanggaan Bawaslu Blora.

Bak oase di musim kemarau. Tak berhenti dalam Pemilu kemarin saja gerakan anti politik uang di Desa Tutup digencarkan, lebih dari itu tetapi juga dalam kontestasi Pilkades. Desa Tutup berhasil menggelar kontestasi Pilkades dengan demokratis. Secara prosedural terdapat 9 (Sembilan) orang kandidat yang berkompetisi. Kemudian disertai angka partisipasi yang cukup tinggi 72.9 %. Sementara dari subtansi, di Desa Tutup tidak ada politik uang, tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh peserta maupun tim pemenangannya. Dari kondisi masyarakatnya rukun-damai dan tidak bergejolak baik ketika pelaksanaan Pilkades maupun pasca pemungutan suara telah menjadi bukti adanya perubahan cara pandang di masyarakat.

Proses terus berjalan, harapan selanjutnya adalah akan ada prototipe Desa APU lainnya di Kabupaten Blora. Memaksimalkan keberadaannya, lebih lanjut adalah membangun kontinuitas jangan sampai ikhtiar ini kembali ke point zero. Memetakan karakter desa, baik dari kultur dan sosio politiknya. Kemudian pelibatan tokoh-tokoh sentral yang jadi panutan masyarakat layaknya Pak Hari mantan Kepala Bagian di Setda Blora dan Mbah Mad, Kyai di Desa Tutup perlu untuk diteruskan. Dibarengi sinergitas penyelenggara, pengawas dengan panitia pemilihan desa, serta komitmen warganya untuk berubah, dan dukungan semua pihak (pemerintah desa dan stakeholder setempat) adalah cara Bawaslu mengembangkan Tutup menjadi Desa Anti Politik Uang.

Tiga Pilar Desa Anti Politik Uang

Demokrasi mengijinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi dan budaya. Kondisi ini menjadikan suatu gagasan dalam terciptanya prototipe Desa APU, dimana menurut Samuel Huntington demokrasi ada jika para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sebuah sistem dipilih melalui suatu pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala, dan di dalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir seluruh penduduk dewasa dapat memberikan suara. Keberhasilan Desa Tutup dalam menjalankan anti politik uang dalam pemilu maupun pilkades, disertai partisipasi masyarakat yang tinggi merupakan sebuah role model untuk dijadikan best practice agar dapat diadaptasikan ke daerah lain dengan beberapa penyesuaian.

Namun demikian setidaknya ada tiga pilar untuk mewujudkan sebuah daerah atau komunitas anti politik uang. Ketiga hal tersebut secara potensial biasanya sudah dimiliki masyarakat tetapi tetap harus di engineer untuk meningkatkan kuantitas dan kualitasnya. Pertama, konsolidasi elemen masyarakat yang menjadi inti atau pioneer untuk melakukan gerakan anti politik uang. Elemen ini menjadi basis pendukung utama dan idealnya dikonsolidasikan di kalangan warga yang mempunyai pengaruh kuat di dalam masyarakat. Kedua, konsistensi pelaksanaan seluruh tahapan pemilu sesuai peraturan oleh panitia pemilihan maupun pengawas. Konsistensi ini menjadi alat ukur integritas dan profesionalitas sebagai pilar untuk menghindari pembusukan sistem dari unsur internal. Secara eksternal juga mampu menghindari ketidakpercayaan publik, karena ketidakpercayaan publik ini menjadi pintu masuk menyebarnya virus politik uang. Ketiga, terus menerus melakukan pendidikan politik agar masyarakat terbiasa berpolitik dengan mengedepankan rasionalitas dan toleransi.

Karakter pemilih yang mengedepankan rasionalitas ditandai dengan kemauan dan kemampuannya memahami visi, misi dan track record para kandidat. Hal ini harus bersambut dengan usaha para kandidat untuk mengembangkan pola kampanye yang rasional. Semakin dekat warga mengenali kualitas kandidat maka rasionalitas politiknya akan semakin dikedepankan. Tentu saja ini tantangan besar dari para kandidat karena selama ini kedekatan itu baru dibangun pada masa kampanye saja sehingga muncullah sikap oportunis di antara kedua belah pihak dan uanglah yang menjadi alat membangun kedekatan itu.

 

Leave a comment

Skip to content